Sudah setahun lebih PLN berjuang untuk mendapatkan gas dari negeri sendiri. Tapi, hasilnya malah sebaliknya. Jatah gas PLN justru diturunkan terus-menerus. Kalau awal 2010 PLN masih mendapatkan jatah gas 1.100 MMSCFD (million metric standard cubic feet per day atau juta standar metrik kaki kubik per hari), saat tulisan ini dibuat justru tinggal 900 MMSCFD. Perjuangan untuk mendapatkan tambahan gas yang semula menunjukkan tanda-tanda berhasil belakangan redup kembali.
Gas memang sulit diraba sehingga tidak bisa terlihat ke mana larinya. Bisa jadi gas itu akan berbelok-belok dulu entah ke mana, baru dari sana dijual ke PLN dengan harga yang sudah berbeda. Padahal, PLN memerlukan 1,5 juta MMSCFD gas. Kalau saja PLN bisa mendapatkan gas sebanyak itu, penghematannya bisa mencapai Rp 15 triliun setiap tahun. Angka penghematan yang mestinya menggiurkan siapa pun.
Maka, saya memutuskan ke Iran. Apalagi, upaya mengatasi krisis listrik sudah berhasil dan menuntaskan daftar tunggu yang panjang itu pasti bisa selesai bulan depan. Kini waktunya perjuangan mendapatkan gas ditingkatkan. Termasuk, apa boleh buat, ke negara yang sudah sejak 1980-an diisolasi oleh Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya itu. Siapa tahu ada harapan untuk menyelesaikan persoalan pokok PLN sekarang ini: efisiensi.
Sumber pemborosan terbesar PLN adalah banyaknya pembangkit listrik yang "salah makan". Sekitar 5.000 MW pembangkit yang seharusnya diberi makan gas sudah puluhan tahun diberi makan minyak solar yang amat mahal. Salah makan itulah yang membuat kembung perut PLN selama ini.
Kebetulan Iran memang sedang memasarkan gas dalam bentuk cair (LNG). Iran sedang membangun proyek LNG besar-besaran di kota Asaleuyah di pantai Teluk Parsi. Saya ingin tahu benarkah proyek itu bisa jadi" Bukankah Iran sudah 30 tahun lebih dimusuhi dan diisolasi secara ekonomi oleh Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya dari seluruh dunia" Bukankah begitu banyak yang meragukan Iran bisa mendapatkan teknologi tinggi untuk membangun proyek LNG besar-besaran?
Saya pun terbang ke Asaleuyah, dua jam penerbangan dari Teheran. Meski Asaleuyah kota kecil, ternyata banyak sekali penerbangan ke kota yang hanya dipisahkan oleh laut 600 km dari Qatar itu. Bandaranya kecil, tapi cukup baik. Masih baru dan statusnya internasional. Pesawat-pesawat lokal, seperti Aseman Air, terbang ke sana.
Itulah kota yang memang baru saja berkembang dengan pesatnya. Iran memang menjadikan kota Asaleuyah sebagai pusat industri minyak, gas, dan petrokimia. Beratus-ratus hektare tanah di sepanjang pantai itu kini penuh dengan rangkaian pipa-pipa kilang minyak, kilang petrokimia, dan instalasi pembuatan LNG.
Saya heran bagaimana Iran bisa mendapatkan semua teknologi itu pada saat Iran sedang diisolasi oleh dunia Barat. Memang terasa jalannya proyek tidak bisa cepat, tapi sebagian besar sudah jadi. Kilang minyaknya, kilang petrokimianya, kilang etanolnya sudah beroperasi dalam skala yang raksasa. Hanya kilang LNG-nya yang masih dalam pembangunan dan kelihatannya akan selesai dua tahun lagi.
Memang, kalau saja Iran tidak diembargo, proyek-proyek itu pasti bisa lebih cepat. Namun, Iran tidak menyerah. Iran membuat sendiri banyak teknologi yang dibutuhkan di situ. Hanya bagian-bagian tertentu yang masih dia datangkan dari luar. Entah dengan cara apa dan entah lewat mana. Yang jelas, barang-barang itu bisa ada. Orang, kalau kepepet, biasanya memang banyak akalnya. Asal tidak mudah menyerah.
Demikian juga, Iran. Bahkan, untuk memenuhi keperluan listrik untuk industri petrokimia itu, Iran akhirnya bisa membuat pembangkit sendiri. Termasuk bisa membuat bagian yang paling sulit di pembangkit listrik: turbin. Maka, Iran kini sudah berhasil menguasai teknologi pembangkit listrik tenaga gas, baik open cycle maupun combine cycle.
Kemampuan membuat pembangkit listrik itu pun semula agak saya ragukan. Belum pernah terdengar ada negara Islam yang mampu membuat pembangkit listrik secara utuh. Karena itu, setelah meninjau proyek LNG, saya minta diantar ke pabrik turbin itu. Saya ingin melihat sendiri bagaimana Iran dipaksa keadaan untuk mengatasi sendiri kesulitan teknologinya.
Ternyata benar. Pabrik turbin itu sangat besar. Bukan hanya bisa merangkai, tetapi juga membuat keseluruhannya. Bahkan, sudah mampu membuat blade-blade turbin sendiri. Termasuk mampu menguasai teknologi coating blade yang bisa meningkatkan efisiensi turbin. Baru sepuluh tahun Iran menekuni alih teknologi pembangkit listrik itu.
Sekarang Iran sudah memproduksi 225 unit turbin dari berbagai ukuran. Mulai 25 MW hingga 167 MW. Bahkan, Iran sudah mulai mengekspor turbin ke Lebanon, Syria, dan Iraq. Bulan depan sudah pula mengekspor suku cadang turbin ke India. Bulan lalu pabrik turbin Iran merayakan produksi blade-nya yang ke-80.000 unit!
Kesimpulan saya: inilah negara Islam pertama yang mampu membuat turbin dan keseluruhan pembangkit listriknya. Saya dan rombongan PLN diberi kesempatan meninjau semua proses produksinya. Mulai A hingga Z. Termasuk memasuki laboratorium metalurginya. Dengan kemampuannya itu, untuk urusan listrik, Iran bisa mandiri.
Bahkan, untuk pemeliharaan pembangkit-pembangkit listrik yang lama, Iran tidak bergantung lagi kepada pabrik asalnya. Mesin-mesin Siemens lama dari Jerman atau GE dari USA bisa dirawat sendiri. Iran sudah bisa memproduksi suku cadang untuk semua mesin pembangkit Siemens dan GE. Bahkan, mereka sudah dipercaya Siemens untuk memasok ke negara lain. "Anak perusahaan kami sanggup memelihara pembangkit-pembangkit listrik PLN dengan menggunakan suku cadang dari sini," kata manajer di situ.
Pabrik tersebut memiliki 32 anak perusahaan, masing-masing menangani bidang yang berbeda di sektor listrik. Termasuk ada anak perusahaan yang khusus bergerak di bidang pemeliharaan dan operasi pembangkitan.
Bisnis kelihatannya tetap bisnis. Saya tidak habis pikir bagaimana Iran tetap bisa mendapatkan alat-alat produksi turbin berupa mesin-mesin dasar kelas satu buatan Eropa: Italia, Jerman, Swiss, dan seterusnya. Saya juga tidak habis pikir bagaimana pabrik pembuatan turbin itu bisa mendapatkan lisensi dari Siemens.
Rupanya, meski membenci Amerika dan sekutunya, Iran tidak sampai membenci produk-produknya. Iran membenci Amerika hanya karena Amerika membantu Israel. Itu jauh dari bayangan saya sebelum datang ke Iran. Saya pikir Iran membenci apa pun yang datang dari Amerika. Ternyata tidak. Bahkan, Coca-Cola dijual secara luas di Iran. Demikian juga, Pepsi dan Miranda. Belum lagi Gucci, Prada, dan seterusnya.
Intinya: dengan diembargo Amerika Serikat dan sekutunya, Iran hanya mengalami kesulitan pada tahun-tahun pertamanya. Kesulitan itu membuat Iran kepepet, bangkit, dan mandiri. Kesulitan itu tidak sampai membuatnya miskin, apalagi bangkrut. Justru Iran dipaksa menguasai beberapa teknologi yang semula menjadi ketergantungannya.
Banyaknya proyek yang sedang dikerjakan sekarang menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi Iran terus berjalan. Mulai pengembangan bandara di mana-mana, pembangunan jalan laying, hingga ke industri dasar. Tidak ketinggalan pula industri mobil.
Kegiatan ekonomi di Iran memang tidak gegap gempita seperti Tiongkok, tapi tetap terasa menggeliat. Pertumbuhan ekonominya sudah bisa direncanakan enam persen tahun ini. Mulai meningkat drastis jika dibandingkan dengan tahun-tahun pertama sanksi ekonomi diberlakukan. "Sebelum ada sanksi ekonomi, Iran hanya mampu memproduksi 300.000 mobil setahun. Sekarang ini Iran memproduksi 1,5 juta mobil setahun," ujar seorang CEO perusahaan terkemuka di Iran.
Memang ada masjid di bandara itu, tapi tidak dipakai sembahyang Jumat. Saya pun minta diantarkan ke desa atau kota kecil terdekat. Ternyata saya kecele. Di Iran tidak banyak tempat yang menyelenggarakan sembahyang Jumat. Bahkan, di kota sebesar Teheran, ibu kota negara dengan penduduk 16 juta orang itu, hanya ada satu tempat sembahyang Jumat.
Itu pun bukan di masjid, tapi di Universitas Teheran. Dari bandara memerlukan waktu perjalanan 1 jam. Atau bisa juga ke kota suci Qum. Tapi, jaraknya lebih jauh lagi. Di negara Islam Iran, Jumatan hanya diselenggarakan di satu tempat di setiap kota besar.
"Jadi, tidak ada tempat Jumatan di bandara ini?" tanya saya.
"Tidak ada. Kalau kita mau Jumatan, harus ke Teheran (40 km) atau ke Qum (70 km). Sampai di sana waktunya sudah lewat," katanya.
Salat Jumat ternyata memang tidak wajib di negara Islam Iran yang menganut aliran Syiah itu. Juga tidak menggantikan salat Duhur. Jadi, siapa pun yang salat Jumat tetap harus salat duhur.
Karena Jumat adalah hari libur, saya tidak dijadwalkan rapat atau meninjau proyek. Maka, waktu setengah hari itu saya manfaatkan untuk ke kota suci Qum. Jalan tolnya tidak terlalu mulus, tapi sangat OK: enam jalur dan tarifnya hanya Rp 4.000. Tarif itu kelihatannya memang hanya dimaksudkan untuk biaya pemeliharaan.
Sepanjang perjalanan ke Qum tidak terlihat apa pun. Sejauh mata memandang, yang terlihat hanya gurun, gunung tandus, dan jaringan listrik. Saya bayangkan alangkah enaknya membangun SUTET (saluran udara tegangan ekstratinggi) di Iran. Tidak ada urusan dengan penduduk. Alangkah kecilnya gangguan listrik karena tidak ada jaringan yang terkena pohon. Pohon begitu langka di sini.
Begitu juga letak kota suci Qum. Kota ini seperti berada di tengah-tengah padang yang tandus. Karena itu, bangunan masjidnya yang amat besar, yang berada dalam satu kompleks dengan madrasah yang juga besar, kelihatan sekali menonjol sejak dari jauh.
Tujuan utama kami tentu ke masjid itu. Inilah masjid yang luar biasa terkenalnya di kalangan umat Islam Syiah. Kalau pemerintahan Iran dikontrol ketat oleh para mullah, di Qum inilah pusat mullah. Demokrasi di Iran memang demokrasi yang dikontrol oleh ulama. Presidennya dipilih secara demokratis untuk masa jabatan paling lama dua kali. Tapi, sang presiden harus taat kepada pemimpin tertinggi agama yang sekarang dipegang Imam Khamenei. Siapa pun bisa mencalonkan diri sebagai presiden (tidak harus dari partai), tapi harus lolos seleksi oleh dewan ulama.
Tapi, sang imam bukan seorang diktator mutlak. Dia dipilih secara demokratis oleh sebuah lembaga yang beranggota 85 mullah. Setiap mullah itu pun dipilih langsung secara demokratis oleh rakyat.
Dalam praktik sehari-hari, ternyata tidak seseram yang kita bayangkan. Amat jarang lembaga keagamaan itu mengintervensi pemerintah. "Dalam lima tahun terakhir, kami belum pernah mendengar campur tangan mullah ke pemerintah," ujar seorang CEO perusahaan besar di Teheran.
Saya memang kaget melihat kehidupan sehari-hari di Iran, termasuk di kota suci Qum. Banyak sekali wanita yang mengendarai mobil. Tidak seperti di negara-negara di jazirah Arab yang wanitanya dilarang mengendarai mobil. Bahkan, orang Iran menilai negara yang melarang wanita mengendarai mobil dan melarang wanita memilih dalam pemilu bukanlah negara yang bisa menyebut dirinya negara Islam.
Dan lihatlah cara wanita Iran berpakaian. Termasuk di kota suci Qum. Memang, semua wanita diwajibkan mengenakan kerudung (termasuk wanita asing), tapi ya tidak lebih dari kerudung itu. Bukan jilbab, apalagi burqa. Kerudung itu menutup rapi kepala, tapi boleh menyisakan bagian depan rambut mereka. Maka, siapa pun bisa melihat mode bagian depan rambut wanita Iran. Ada yang dibuat modis sedikit keriting dan sedikit dijuntaikan keluar dari kerudung. Ada pula yang terlihat dibuat modis dengan cara mewarnai rambut mereka. Ada yang blonde, ada pula yang kemerah-merahan.
Bagaimana baju mereka? Pakaian atas wanita Iran umumnya juga sangat modis. Baju panjang sebatas lutut atau sampai ke mata kaki. Pakaian bawahnya hampir 100 persen celana panjang yang cukup ketat. Ada yang terbuat dari kain biasa, tapi banyak juga yang celana jins. Dengan tampilan pakaian seperti itu, ditambah dengan tubuh mereka yang umumnya langsing, wanita Iran terlihat sangat modis.
Apalagi, seperti kata orang Iran, di antara sepuluh wanita Iran, yang cantik ada sebelas! Sedikit sekali saya melihat wanita Iran yang memakai burqa, itu pun tidak ada yang sampai menutup wajah.
Sampai di kota Qum, sembahyang Jumatnya memang sudah selesai. Ribuan orang bubaran keluar dari masjid. Saya pun melawan arus masuk ke masjid melalui pintu 15. Setelah salat Duhur, saya ikut ziarah ke makam Fatimah yang dikunjungi ribuan jamaah itu. Makam itu berada di dalam masjid sehingga suasananya mengesankan seperti ziarah ke makan Rasulullah di Masjid Nabawi. Apalagi, banyak juga orang yang kemudian salat dan membaca Alquran di dekat situ yang mengesankan orang seperti berada di Raudlah.
Yang juga menarik adalah strata sosialnya. Kota Metropolitan Teheran berpenduduk 16 juta dan dengan ukuran 50 km garis tengah adalah kota yang sangat besar. Sebanding dengan Jakarta dengan Jabotabek-nya. Tetapi, tidak terlihat ada keruwetan lalu lintas di Teheran. Memang, Teheran tidak memiliki kawasan yang cantik seperti Jalan Thamrin-Sudirman, namun sama sekali tidak terlihat ada kawasan kumuh seperti Pejompongan dan Bendungan Hilir. Memang, tidak banyak gedung pencakar langit yang cantik, tapi juga tidak terlihat gubuk dan bangunan kumuh.
Kota Teheran tidak memiliki bagian kota yang terlihat mewah, tetapi juga tidak terlihat ada bagian kota yang miskin. Teheran bukan kota yang sangat bersih, tapi juga tidak terasa kotor. Di jalan-jalan yang penuh dengan mobil itu saya tidak melihat ada Mercy mewah, apalagi Ferrari, tapi juga tidak ada bajaj, motor, atau mobil kelas 600 hingga 1.000 cc.
Lebih dari 90 persen mobil yang memenuhi jalan adalah sedan kelas 1.500 hingga 2.000 cc. Saya tidak melihat ada mal-mal yang besar di Teheran. Tapi, saya juga sama sekali tidak melihat ada pedagang kaki lima, apalagi pengemis. Wanitanya juga tidak ada yang sampai pakai burqa, tapi juga tidak ada yang berpakaian merangsang. Orangnya rata-rata juga ramah dan sopan. Baik dalam sikap maupun kata-kata.
Pemerataan pembangunan terasa sekali berhasil diwujudkan di Iran. Semua rumah bisa masak dengan gas yang dialirkan melalui pipa tersentral. Demikian juga, 99 persen rumah di Iran menikmati listrik "untuk tidak menyebutkan 100 persen.
Melihat Iran seperti itu saya jadi teringat makna kata yang ditempatkan di bagian tengah-tengah Alquran: Wal Yatalaththaf!
BAGAIMANA Iran ke depan? Mengapa setelah lebih 20 tahun diisolasi dan diembargo Amerika Serikat Iran tidak kolaps seperti Burma, Korea Utara (Korut) atau Kuba?
Banyak faktor yang melatarbelakanginya. Pertama, saat mulai diisolasi dulu kondisi Iran sudah cukup maju. Kedua, tradisi keilmuan bangsa Iran termasuk yang terbaik di dunia. Ketiga, Iran penghasil minyak dan gas yang sangat besar. Keempat, jumlah penduduk Iran cukup besar untuk bisa mengembangkan ekonomi domestik. Kelima, tradisi dagang masyarakat Iran sudah terkenal dengan golongan bazarinya.
Tradisi dagang itu tidak mudah dikalahkan. Pedagang selalu bisa berkelit dari kesulitan. Ini berbeda dengan tradisi agraris. Seperti Tiongkok, meski 60 tahun dikungkung oleh komunisme Mao Zedong yang kaku, penduduknya tetap tidak lupa kebiasaan dagang. Demikian juga warga Iran. Ini terbukti sampai sekarang pun. Setelah lebih 20 tahun diisolasi pun sektor jasa masih menyumbang sampai 40% GDP negara itu.
Penduduk Iran yang 75 juta orang juga menjadi kekuatan ekonomi tersendiri. Apalagi saat mulai diisolasi oleh Amerika tahun 80-an, kondisi Iran sudah tidak tergolong negara miskin. Kelas menengah di Iran sangat dominan. Inilah faktor yang dulu membuat revolusi Islam Iran tahun 1979 berhasil menumbangkan diktator Syah Pahlevi. Keberhasilan itu disebabkan masyarakat di Iran didominasi kaum bazari. Pedagang kelas menengah. Yakni bukan konglomerat yang ketakutan ditebas penguasa, dan bukan pedagang kecil yang takut kehilangan tempat bergantung.
Belum lagi kekayaan alamnya. Iran adalah negara kedua terbesar penghasil minyak dan gas alam. Bukan hanya memiliki cadangan besar, tapi juga mampu melakukan drilling dan pengolahan sendiri. Tidak ada lagi ketergantungan akan teknologi drilling dan pengolahan.
Salah satu sumber gasnya, yang baru saja ditemukan, akan membuat negara itu kian berkibar. Di lepas pantainya, di Teluk Parsi, ditemukan ladang gas terbesar di dunia. Ladang itu setengahnya berada di wilayah Qatar dan setengahnya lagi di wilayah Iran. Tahun 1999 lalu Qatar sudah berhasil menyedot gas bawah laut itu dari wilayah Qatar. Kalau Iran tidak menyedotnya dari wilayah Iran tentu semua gas itu akan disedot Qatar. Karena itu Iran juga bergegas menyedotnya dari sisi timur. Tahun 2003 lalu Iran sudah berhasil menyedot gas itu dan akan terus meningkatkan sedotannya. “Tiga tahun lagi kemampuan Iran menyedot gas itu sudah sama dengan Qatar,” ujar CEO perusahaan gas di sana.
Untuk menggambarkan seberapa besar potensi gas itu baiknya dikutip kata-kata CEO yang saya temui di atas. “Seluruh gas Iran di situ harganya USD 12 triliun,” katanya. Ini sama dengan 12 kali seluruh kekuatan ekonomi Indonesia yang USD 1 triliun saat ini. “Kalau gas itu diambil dalam skala seperti sekarang baru akan habis dalam 200 tahun,” tambahnya.
Gas itu letaknya memang 3.000 meter di bawah laut, namun dalamnya laut sendiri hanya 50 meter. Secara teknis ini jauh lebih mudah pengambilan gasnya daripada misalnya gas bawah laut Indonesia di Masela, di laut Maluku Tenggara.
Memang masih ada kendala ekonomi yang mendasar. Defisit anggaran masih menghantui, subsidi masih besar, laju inflasi masih tinggi dan akses perdagangannya masih terjepit oleh sanksi Amerika. Inflasi yang tinggi itu akibat naiknya harga bahan makanan, gas dan bahan bakar minyak (BBM). Bahkan akibat inflasi itu Iran harus mencetak mata uang dengan pecahan lebih besar dari rupiah. Kalau pecahan rupiah paling besar Rp 100.000, real Iran terbesar adalah 500.000 real (1 real hampir sama dengan Rp 1). Bahkan ada juga real lembaran 1.000.000, meski penggunaannya hanya di lingkungan terbatas.
Seperti Indonesia, Iran juga merencanakan menghapus empat nol di belakang real yang terlalu panjang itu. Hanya saja penghapusan nol tersebut baru akan dilakukan setelah inflasinya stabil kelak. Itulah sebabnya pemerintah Iran kini mati-matian memperbaiki fondasi ekonominya. Tahun lalu parlemen Iran sudah menyetujui dilaksanakannya “reformasi ekonomi”. Sebuah reformasi yang sangat penting dan mendasar. Inti dari reformasi itu adalah menjadikan ekonomi Iran sebagai “ekonomi pasar”. Artinya harga-harga harus ditentukan oleh pasar. Tidak boleh lagi ada subsidi. Reformasi ekonomi itu ditargetkan harus berhasil dalam lima tahun ke depan.
Begitu pentingnya reformasi untuk meletakkan dasar-dasar ekonomi Iran itu, sampai-sampai Presiden Ahmadinejad berani mengambil resiko dihujat dan dibenci rakyatnya dua tahun terakhir ini. Subsidi pun dia hapus. Harga-harga merangkak naik. Ahmadinejad tidak takut tidak popular karena ini memang sudah masa jabatannya yang kedua, yang tidak mungkin bisa maju lagi jadi presiden.
Bahwa kini Iran memilih jalan ekonomi pasar sungguh mengejutkan. Alasannya pun “sangat ekonomi”: untuk meningkatkan produktivitas nasional dan keadilan sosial. Subsidi (subsidi BBM tahun lalu mencapai USD 84 juta), menurut pemerintah, lebih banyak jatuh kepada orang kaya. Karena itu daripada anggaran dialokasikan untuk subsidi lebih baik langsung diarahkan untuk golongan yang berhak.
Pemikiran reformasi ekonomi seperti itulah yang tidak ada di negara-negara lain yang diisolasi Amerika Serikat. Inilah juga faktor yang membuat Iran tidak akan tertinggal seperti Burma, Kuba atau Libya. Dengan bendera sebagai Negara Islam pun Iran tetap menjunjung tinggi ilmu ekonomi yang benar. Tradisi keilmuan di Iran, termasuk ilmu ekonomi, memang sudah tinggi sejak zaman awal peradaban. Inilah salah satu bangsa tertua di dunia dengan peradaban Arya yang tinggi.
Dalam situasi terjepit sekarang pun, tradisi keilmuan itu tetap menonjol. Iran kini tercatat sebagai satu di antara 15 negara yang mampu mengembangkan nanoteknologi. Iran juga termasuk 10 negara yang mampu membuat dan meluncurkan sendiri roket luar angkasa.
Di bidang rekayasa kesehatan, Iran juga menonjol: teknologi stemcell, kloning dan jantung buatan sudah sangat dikenal di dunia. Bahkan untuk stemcell Iran masuk 10 besar dunia.
Maka tidak heran kalau Iran juga tidak ketinggalan dalam penguasaan teknologi perminyakan, pembangkit listrik dan otomotif. Jangankan jenis teknologi itu, nuklir pun Iran sudah bisa membuat, lengkap dengan kemampuannya memproduksi uranium hexaflourade yang selama ini hanya dimiliki oleh enam negara.
AS kelihatannya berhasil membuat Burma, Korut, Kuba dan Libya menderita dengan embargonya. Tapi tidak untuk Iran. Ke depan posisi Iran justru kian baik, antara lain karena “dibantu” oleh Amerika Serikat sendiri. Sudah lama Iran ingin menumbangkan Saddam Husein di Iraq, namun selalu gagal. Perang Iran-Iraq yang sampai 8 tahun pun tidak berhasil mengalahkan Saddam Husein. Iran tidak menyangka bahwa Saddam dengan mudah ditumbangkan oleh AS.
Dengan tumbangnya Saddam Husein maka Iraq kini dikuasai oleh para pemimpin yang hati mereka memihak Iran. Banyak pemimpin Iraq saat ini adalah mereka yang di masa Saddam dulu terusir ke luar negeri, dan mereka bersembunyi di Iran. Bahkan saat terjadi perang Iran-Iraq dulu, mereka ikut angkat senjata bersama tentara Iran menyerbu Iraq.
Demokrasi yang diperjuangkan AS di Iraq telah membuat golongan mayoritas berkuasa di Iraq. Padahal mayoritas rakyat Iraq adalah Islam Syi’ah. Golongan Sunni hanya 40 persen, itu pun tidak utuh. Yang separo adalah keturunan Arab, sedang separo lagi keturunan Kurdi. Ada kecenderungan keturunan Kurdi memilih berkoalisi dengan Syi’ah. Padahal yang golongan Arab itu pun masih juga terpecah-pecah ke dalam berbagai kabilah. Saddam Husein, misalnya, datang dari suku Tikrit yang jumlahnya hanya sekitar 10% dari penduduk Iraq.
Dengan gambaran seperti itu maka masa depan hubungan Iran dan Iraq tinggal menunggu waktu yang tepat untuk menjadi amat mesra. Waktu yang tepat itu adalah ini: mundurnya AS 100% dari Iraq. Dan itu tidak akan lama lagi. Pekan lalu pimpinan Iraq sudah mengatakan “Iraq hanya perlu bantuan militer untuk menjaga perbatasan, bukan untuk urusan dalam negeri”.
Maka tidak lama lagi Iraq akan menjadi “negara ketiga” yang akan mengalirkan barang dari dan ke Iran. Dan kalau ini terjadi, masih ada gunanyakah Iran diisolasi?
http://www.jpnn.com/read/2011/05/06/91189/Ke-Iran-setelah-30-Tahun-Diembargo-Amerika-%281%29-#
http://www.jpnn.com/read/2011/05/07/91273/Ke-Iran-setelah-30-Tahun-Diembargo-Amerika-%282%29-
http://www.kaltimpost.co.id/index.php?mib=berita.detail&id=99399#